REVITALISASI KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
REVITALISASI
KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
EDSY
PUJI RAHAYU
1020717055.
III/VI/B
ABSTRACT
Now, image of Indonesian national
character very bad and far away from value of our culture. Life style of young
generation out from our national character that manifestation by four pillar of
nationalistic, there is NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, and Pancasila. One
of component was distructed is our lovely sense of Indonesian language as
national language.
The tittle of this papper is “Revitalisasi Karakter Bangsa
melalui Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Use the essence of Indonesian
language and Indonesian literature as weapon for bringing back lovely sense to
national language with good grammatic competence, also bringing back our life
culture that full with local wisdom. The method use of the papper is book
investigate grounded on fact and reality of now condition about national
character, and urgency of character education, also existence of Indonesian
language now.
Keywords:
national character, character education, Education of Indonesian Language and
Literature
ABSTRAK
Karakter bangsa Indonesia kini
semakin jauh dari nilai kearifan budaya. Gaya hidup para generasi penerus
bangsa semakin jauh dari karakter bangsa Indonesia yang dimanifestikan dalam
empat pilar kebangsaan, yakni NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan
Pancasila. Salah satu kelunturan itu ialah semakin rendahnya kecintaan terhadap
bahasa nasional. Artikel ini berjudul Revitalisasi Karakter Bangsa melalui
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengunakan esensi bahasa Indonesia dan
sastra Indonesia sebagai senjata untuk mengembalikan kecintaan terhadap bahasa
nasional dengan penguasaan tata bahasa yang baik, serta mengembalikan budaya
kehidupan bangsa yang penuh kearifan. Penulisan ini menggunakan metode telaah
pustaka berdasarkan fakta-fakta yang ditemui di lapangan tentang potret
karakter bangsa dan urgensi pendidikan karakter serta eksistensi bahasa
Indonesia saat ini.
Kata kunci:
karakter bangsa, pendidikan karakter, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
PENDAHULUAN
Dewasa
ini wajah karakter Indonesia sangatlah memprihatinkan. Wajah memprihatinkan
tersebut, dapat dilihat dari maraknya penyakit sosial yang semakin menggejala
di masyarakat. Gelandangan, pengangguran, kriminalitas, kemiskinan menjadi
potret besar Indonesia saat ini. Salah satu penyebab terjadinya hal tersebut
ialah semakin tingginya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyakit sosial
tersebut telah menggejala mulai tingkat bawah sampai atas dan telah membuat
masyarakat Indonesia tidak lagi mencerminkan kepribadian Indonesia yang
berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, menghargai kebhinekaan, dan
menjaga keutuhan NKRI.
Manusia
sebagai produk pendidikan tidak mencerminkan karakter layaknya karakter kaum
terpelajar. Sikap hidup pragmatis yang terlihat di Indonesia dewasa ini
menyebabkan terkikisnya nilai kearifan lokal yang dahulu merupakan identitas
budaya bangsa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terwujud dalam
globalisasi tidak membawa Indonesia ke arah kemajuan yang positif, melainkan ke
arah yang negatif.
Dalam
dasawarsa terakhir ini sebagai bentuk penyikapan atas kondisi bangsa yang
demikian, pemerintah menggalakkan program pendidikan karakter. Pendidikan ini
diaplikasikan mulai dari satuan pendidikan paling bawah hingga paling tinggi.
Instansi-instansi pendidikan dituntut untuk mencetak generasi bangsa yang
berkarakter kebangsaan. Selain itu, dalam upaya memperbaiki citra karakter
Indonesia, para pelaku pemerintahan menggalakkan sosialisasi tentang empat
pilar kebangsaan sebagai identitas bangsa Indonesia. Namun, kenyataannya potret
bangsa belum berubah ke arah yang diharapkan.
Berbagai
cara telah ditempuh dalam upaya mengembalikan karakter bangsa. Dalam dunia
pendidikan khususnya, selain memberlakukan aturan-aturan tertentu untuk
mendidik dan menumbuhkan karakter anak didik, sebenarnya ada cara lain yang
dapat digunakan. Cara tersebut ialah melalui pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang merupakan sarana untuk menyampaikan budaya dan mewariskannya
dari generasi yang satu ke generasi berikutnya.
Kenyataan
yang terjadi di sekolah-sekolah, memberikan wacana kepada kita bahwa pengemasan
mata pelajaran Bahasa Indonesia kurang
maksimal. Padahal di dalamnya terdapat pula sastra. Keadaan tersebut
diperparah dengan fenomena keengganan tenaga pendidik untuk berkreasi dalam
menyampaikan mata pelajaran tersebut serta meningkatkan kemampuannya untuk
menguasai praktik daripada sekedar teori.
Anggapan
sepele untuk pelajaran Bahasa Indonesia ini juga menjadi faktor utama yang
memperparah buruknya penguasaan bahasa dan sastra Indonesia di kalangan
pelajar. Hingga pada kenyataannya ketika Ujian Nasional mata pelajaran ini
selalu dianggap sulit dan merupakan mata pelajaran dengan tingkat perolehan
nilai tidak pernah sempurna. Hal ini dikarenakan pada proses pembelajarannya
terlalu disepelekan. Dianggap siswa telah mengetahui dan memahami sebagai orang
Indonesia, sehingga tidak perlu diusahakan seperti Matematika dan IPA. Padahal,
mata pelajaran Bahasa Indonesia sangat kompleks dan perlu ketelitian dan
pemahaman tinggi.
METODELOGI
Metode
yang digunakan dalam penulisan ini ialah telaah pustaka, yakni menggabungkan
antara teori kepustakaan dengan kenyataan atau fakta yang ditemui di lapangan.
Sumber data berupa kenyataan-kenyataan potret kehidupan kekinian, kemudian
dikaji berdasarkan telaah kepustakaan pada beberapa buku untuk diambil teori
maupun pernyataan para ahli dalam buku sumber. Hasil analisis berupa paparan
atau deksriptif, yakni pemerian teori dengan fakta serta gagasan subjektif
penulis. Hasil pemerian tersebut berupa solusi yang bisa diaplikasikan secara
nyata guna mengatasi masalah yang diangkat dalam penulisan.
PEMBAHASAN
Potret
Karakter Bangsa
Identitas karakter bangsa Indonesia
terdapat dan tercermin pada empat pilar kebangsaan. Empat pilar kebangsaan
tersebut terdiri atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Bhineka
Tunggala Ika, dasar negara Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam keempatnya
terkandung pedoman hidup dan cita-cita bangsa. Para pahlawan merumuskannya di
awal kehidupan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara bertujuan agar
selanjutnya kehidupan negara sebagai sebuah bangsa yang diakui menjadi salah
satu bagian dunia dapat lebih baik dan dapat mencapai cita-citanya.
Dalam kehidupan, setiap gerak,
langkah, tutur kata, sikap, dan perasaan bangsa Indonesia harus mencerminkan
segala yang ada dalam empat pilar kebangsaan tersebut guna mewujudkan
harmonisasi sosial kehidupan masyarakat. Selain itu, sebagai cerminan karakter
bangsa yang akan membuat Indonesia menjadi negara yang disegani oleh
negara-negara lain di dunia.
Pada nyatanya, dewasa ini potret
karakter bangsa berbalik dari segala nilai-nilai yang terkandung dalam empat
pilar kebangsaan tersebut. Hedonisme dan globalisasi yang semakin merangsak ke
seluruh penjuru kehidupan, semakin mengikis dan menggerus habis karakter
bangsa. Menyisihkan budaya dengan kecanggihan yang ada.
Perlunya
Pendidikan Karakter
Setiap
anak yang dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci dan dapat dipastikan bahwa
mereka dapat berkembang secara optimal. Anak-anak akan menjadi pribadi
berkarakter apabila tumbuh dalam keluarga yang berkarakter pula. Keluarga
sebagai pilar utama pendidikan anak, tentunya harus bersinergi dengan
pendidikan formal yang juga harus dengan gegap gempita melakukan hal tersebut.
Berawal dari para pendidik yang juga harus memahami esensi pendidikan karakater
serta muatan dan metode menarik yang diterapkan menjadi pijakan utama dalam
keberhasilan proses tersebut.
Ada
tiga hal yang berlangsung secara terus
menerus. Pertama, anak mengerti baik
dan buruk, mengerti tindakan yang harus diambil, mampu memberikan prioritas
yang baik. Kedua, mempunyai
kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini
merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau
berbohong, karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena ia
tahu bahwa hal tersebut tidak baik. Ketiga,
anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya (Saliman dalam
Pamungkas, 2011).
Sebuah
pandangan mengatakan bahwa seorang anak pada usia di bawah tujuh tahun
merupakan saat yang tepat untuk dilakukan pendidikan karakter. Hal tersebut
dirasa sangat tepat dalam pembentukan watak, akhlak atau karakter bangsa (nation and character building)
‘pembangunan karakter bangsa’. Pada usia
tersebut, perlu ditanamkan sembilan pilar karakter yang penting, yaitu: (1)
cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, kedisiplinan,
dan kemandirian; (3) kejujuran; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang; (6)
percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7) keadilan dan
kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; (9) toleransi, cinta damai, dan persatuan.
Seorang
anak yang lahir ke dunia dengan bekal kemampuan otak yang telah diprogram,
bergantung pada bagaimana selanjutnya lingkungan menambah, memperkuat, dan
mengasahnya. Bagaimana seorang anak dipersiapkan tumbuh dalam keluarganya
dengan karakter yang baik. Oleh karenanya, anak yang harus dikenalkan sejak
dini (sebelum usia tujuh tahun) tentang 56 sifat-sifat budi pekerti seperti
disampaikan oleh Sedyawati, dkk (1999), yaitu: bekerja keras, berani memikul
resiko, berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang,
berpikir jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif,
bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat,
dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati,
lugas, mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan,
menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif,
rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang,
rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sikap
adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, tangguh,
tegas, tekun, tepat janji, terbuka dan ulet.
Eksistensi
Bahasa Indonesia
Bagaimanakah
eksistensi bahasa Indonesia kini? Berada di rating tertinggikah di hati dan
pengetahuan masyarakatnya? Menilik sekilas pada potret nyata nilai UN SMA oleh
peraih tertinggi nasional dari salah satu SLTA di Bali, maka sudah tentu
jawabannya “belum” atau “tidak”. mengapa demikian? Di antara semua mata ujian,
semuanya mendapat nilai sempuna, tetapi tetap ada cacat untuk mata uji Bahasa
Indonesia. Terlebih lagi siswi tersebut ialah penggemar entertainment Korea
Selatan atau yang trend disebut K-POP.
Di
tengah berkembang dan canggihnya teknologi informasi, bahasa standar menjadi
bahasa Inggris, kemudian semakin tidak jelasnya batas budaya, idola, dan
kegemaran. Salah satu korban untuk ini ialah bahasa Indonesia. Sebagai bahasa
nasional tetapi warganya sendiri tidak menguasai tata kebahasaannya, malah
lebih mahir berbahasa asing. Potret memprihatinkan ini perlu kiranya segera
menjadi perhatian banyak pihak mulai dari orang tua hingga pemerintah.
Peran
Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Revitalisasi Karakter Bangsa
Bahasa dan sastra merupakan dua hal
penting yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Bahasa
merupakan piranti untuk berekspresi dan sastra merupakan kumpulan kata, kalimat
dan paragraf yang tersajikan dengan indah. Baik bahasa maupun sastra keduanya
mempunyai fungsi masing-masing namun keduanya saling mendukung.
Fungsi bahasa
menurut Halliday yang dikutip oleh
Tarigan (1987:6-7), Sumarlam (2010), yaitu : (1) fungsi instrumental (the instrumental function), untuk
melayani pengelolaan lingkungan dan penyebab peristiwa-peristiwa tertentu
terjadi; (2) fungsi regulasi (the regulatory
function), bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa; (3)
fungsi representasional (the
representational function), untuk membuat pernyataan-pernyataan,
menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau melaporkan; (4)
fungsi interaksional (the interactional
function), bertugas untuk menjamin serta memantapkan ketahanan dan
kelangsungan komunikasi sosial; (5) fungsi personal (the personal function), memberi kesempatan kepada seorang pembicara
mengekspresikan perasaan, emosi pribadi, serta reaksi-reaksi yang mendalam; (6)
fungsi heuristik (the heuristic
function), untuk memperoleh pengetahuan, mempelajari seluk beluk
lingkungan; (7) fungsi imajinatif (the
imaginatif function), untuk menciptakan sistem-sistem atau gagasan-gagasan yang
bersifat imajinatif.
Sedangkan fungsi sastra adalah
mentransformasi nilai-nilai kehidupan secara estetis, dramatis, dan pragmatis.
Karya sastra sejatinya harus pragmatis karena cerminan kehidupan. Karya sastra
akan memperkaya pengalaman bagi pembacanya. Dengan membaca karya sastra
pengalaman seseorang dapat saja melampaui “kekinian” dan menghadirkan
“kedahuluan” dalam kehidupan ini, memperkaya pengalaman spiritual pembacanya
yang pada gilirannya akan membangun persepsi dan pengetahuan serta membangun
kepribadian, karena salah satu eksistensi karya sastra adalah lahir dari
refleksi kehidupan (Rahman, 2011).
Karya sastra lahir bukan
semata-mata karya imajinasi pengarang. Pengarang sebagai anggota masyarakat,
yang mempunyai latar belakang pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan
lain-lain tentu akan sangat mempengaruhi bagimana karya sastra disajikannya.
Karya sastra kemudian dipandang sebagai gambaran masyarakat. Dengan kata lain,
ia merupakan refleksi dari suatu kehidupan dan seluruh permasalahan yang
disajikan dengan menggunakan urutan kata yang membentuk bahasa sehingga mampu
memberikan aspek estetis. Dengan sifat mimetisnya karya sastra mampu memotret
manusia dari kehidupannya.
Karya sastra juga dianggap mampu
menampilkan kualitas estetis yang paling beragam sekalipun paling tinggi. Aspek
estetis akan tampak bila pembaca mampu melihat dan menikmatinya. Estetika
mempengaruhi manusia melalui kesadaran total proses psikologis. Mencermati
pentingnya estetika dalam kehidupan manusia maka Mukarovsky sebagaimana dikutip
oleh Ratna (2007:291) menyatakan tiga fungsi, yaitu (1) membangkitkan rasa
bahagia, tentram dan damai; (2) mendominasi pusat perhatian pada saat tertentu,
sekaligus mengabaikan perhatian lain yang pada saat itu tidak diperlukan; (3)
mengganti fungsi lain yang sudah usang. Dengan bahasa karya sastra mampu
mempertemukan aspek estetika dan etika. Dengan kekuatan aspek estetis, aspek
etis secara tidak langsung masuk di
dalamnya. Sebuah karya sastra memuat nasihat, teladan, pendidikan, dan
pengajaran, yang kesemuanya disampaikan secara tidak langsung, dengan media
bahasa yang indah pula.
Dengan demikian bahasa sastra
secara tidak langsung dapat membawa dan memberikan contoh nilai kehidupan
kepada para pembacanya. Sastra Indonesia sangat kaya akan nilai kearifan
kehidupan yang merupakan cermin karakter hidup masyarakat Indonesia. Mulai dari
masalah kenegaraan hingga pelik kehidupan sosial manusia. Para guru mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya harus sadar dan faham akan kekuatan
ini. Kecintaan akan bahasa nasional pun juga bisa disampaikan lewat sastra.
Kreasi dan inovasi pengajaran harus disadari pula. Secara eksplisit para guru
Bahasa Indonesia bertanggung jawab untuk membentuk generasi bangsa yang
mencintai dan menjiwai karakter bangsanya, termasuk mencintai dan menjunjung
tinggi bahasa nasional serta bertingkah hidup layaknya budaya bangsa yang penuh
kearifan.
Mulai sekarang sudah selayaknya
dunia pendidikan lebih mengutamakan pembelajaran nilai-nilai kehidupan, untuk Indonesia
khususnya pendidikan karakter sesuai dengan karakter bangsa. Menambah porsi
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dapat dilakukan sebagai
salah satu kiat untuk merevitalisasi atau menggiatkan atau menghidupkan kembali
karakter bangsa yang terancam punah di kalangan generasi penerus bangsa. Di
tengah popularitas bahasa asing yang merajai pendidikan negeri ini, sudah
sepantasnya solusi ini dicanangkan dan segera dilaksanakan. Namun, solusi
tersebut juga harus didukung sepenuhnya dengan para pengajar yang tidak hanya
dapat memberi contoh, melainkan dapat menjadi contoh yang baik. Kesadaran untuk
menjadi pendidik yang kreatif dan inovatif, sepenuhnya menjiwai pengabdian
untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkarakter.
SIMPULAN
Revitalisasi
karakter bangsa melalui pendidikan bahasa dan sastra Indonesia merupakan solusi
tepat untuk mengembalikan kecintaan terhadap bahasa nasional serta mencontohkan
kearifan hidup sesuai nilai-nilai empat pilar kebangsaan. Sejalan dengan ini
hendaknya para profesionalis menjadi profesionalis yang benar-benar pengabdi
sepenuh hati dan segenap kesadaran. Hal ini dapat dilakukan bukan hanya semata
tanggung jawab instansi pendidikan melainkan lingkungan sosial juga bersinergi
untuk menanamkan karakter ini dari seorang individu masih dalam usia dini.
DAFTAR
PUSTAKA
Pamungkas,
Sri. 2012. Bahasa, Sastra, dan Budaya
Jawa serta Peranannya sebagai
Sumber Kearifan Kehidupan Keluarga yang Merupakan
Daya Dukung Pembentukkan Pekerti Bangsa. Disampaikan
pada Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya Jawa Timur.
Ratna,
Nyomana Kuntha. 2007. Estetika, Sastra,
dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sedyawati,
Edi, dkk. 1999. Pedoman Penanaman Budi
Pekerti Luhur. Jakarta: Balai
Pustaka
Sumarlam.
2010. Teori dan Praktik Analisis Wacana.
Solo: Bukukatta.
Komentar
Posting Komentar