UJUNG MANIS DALAM PERJUANGAN CINTA KASIH
Oleh Alinda Ockty Prirahayu
PBI STKIP PGRI PACITAN
Mendung dan senja menjadi ambigu, ketika bias mata
dunia berpamitan di balik tonggak jagad raya. Lukisan alampun putih menjadi
hitam dalam taburan mutiara langit, aku bersimpuh. Dawai samudera semakin
menjadikan rongga khayal kepadanya yaitu cinta. Ibarat membuka telapak tangan
berharap jatuhnya mutiara langit yang ingin ku katakan keinginan hati padanya.
Tetes demi tetes jatuhlah citaku pada helai kain suci yaitu lantunan doa yang
terlarang.
Dialah Duda Sang calon suamiku. Aku dan
dialah sang pemimpi cinta terlarang itu. Kita bertemu tanpa sengaja walau
ikatan darah dan jarak sebenarnya sangatlah dekat ialah saudara. Derajatnyapun
lebih tinggi dari aku sekeluarga. Ibarat langit dan bumi adalah kita. Kau
beranikan keluarnya kalimat “ Ijinkan saya menjadikan Alin sebagai istriku”,
kepada Ayahku. Jawabanpun tak ada hasil, harus menunggu waktu yang tepat untuk
mengatakan dengan jawaban sebenarnya. Dua pihak tahta keluargapun tak merestui.
Tatapan mata rasa kerinduan yang kita rasakan tak pernah padam, walau berbagai
duri yang menusuk darimanapun mengoyak goyahnya cinta kita. Kau paksa aku untuk
kuat, kau paksa aku untuk setia, dan kau paksa aku untuk tetap cinta karena keinginan
yang sama untuk memiliki yaitu menunggu jawaban pasti.
Peristiwa tajampun tak terhelakkan. Ketika kita mencuri waktu untuk saling bertemu walaupun itu terkadang kita berbohong pada orang tua hanya untuk dapat bertemu. Kita berdosa pada
orangtua untuk saling beralasan, sehingga Dialah Tuhan menjatuhkan hukuman dalam
kecelakaan berdua. Tangisanpun tak hentinya mengalir ketika dalam satu
Puskesmas kita dipisahkan dalam pengobatan. Bagaikan sinetron yang nyata. Kita
tak bisa saling meraih tangan. Hanyalah mata yang saling tajam menembus
bongkahan pedih, perih, dan sakit. Ratapan pilu semakin terbakar ketika saling
dipisahkan dalam rawatan orangtua yang tak boleh bertemu.
Detik terasa jam. Hari terasa bulan. 1001
malam kita rasakan, hingga datanglah kebahagiaan ketika kau hadir ke rumahku,
bersembunyi dari mata-mata manusia yang tak menghendaki, dengan cacian tajam
mereka kepada kita. Ternyata kamu belum pulih total sehingga menambah jatuhnya
air mata cintaku yang mendalam bahwa kau setia padaku hingga datanglah waktu
kau tersidang oleh keluargaku dengan jawaban Sang Ayahku tak merestui.
Keluargamupun sama dengan alasan dari ke dua tahta yang tiada lelah untuk
memisahkan kita. Apakah ini telah berakhir?
Desiran caci-maki, deburan halangan, hingga
derasnya air mata tak henti menembus batas bendungan cinta dimana pilu dan
gelisah menjadi tonggak langit yang siap meledak. Tapi kita tetap membara dalam
tujuan yang sama ialah mahligai pernikahan dengan kau ucapkan “Will You Marry
Me” di Kafe Lo Krap, kepadaku dengan bunga nan indah kau berikan. “Iya sayang,
aku menerima lamaranmu”, sambil ku tersipu malu bahagia untuk jawab yang
terlontar dariku.
Kau datang dengan mencuri kebohongan kepada
keluargamu dan Sang Tuhan demi menemuiku walau tatapan Sang Ayahnda tak
menghiraukanmu di sini. Lara kita lahir tak lekas sembuh, batinpun bertambah
parah. Serasa lengkap sudah gejolak penderitaan. “Tuhan, tetaplah di samping dua
jiwa, restui kami dengan ranah hati mereka semua yang tak berkehendak”, doaku.
Mukjizat akhirnya datang dalam perlahan.
Ketika Ayahnda dan Kakekku memberi
kabar bahwa akan meminta penjelasan tentang hubungan ini kepada keluarga Sang
Duda, diapun menyampaikan kepada Ibundanya dalam lain hari. Tak disangka dalam
duga, Hpku berdering, seketika Sang Duda calon suami sore itu jam 15.30 WIB
memberi kabar bahwa keluarga besarnya sudah siap menyambut kedatangan
keluargaku dengan hidangan yang sangat mewah, katanya. Rasa tersambar petir
bahagia bercampur bingung dari keluargaku di sore itu, karena niat yang datang
hanyalah Ayahnda dan Kakekku serta tak ada persiapan sedikitpun dari kami bahwa
akan melamar. Keluargaku tak hentinya berkecambuk dalam bingung yang tak
disangka. Kocar-kacir kami untuk mengabari semua keluarga besar dan mempersiapkan
segala yang akan di bawa ke sana karena waktu tinggal 2 jam, keluarga Sang Duda
calon suamiku siap menyambut kami.
Waktu terasa sangat cepat. Jam 19.30 WIB
berlalu. Rongga nafasku terasa sesak, otak berlumuran bayangan, dan hati
tertekan pedih karena aku tak diperkenankan oleh keluarga besarku untuk ikut
melamar. “Oh Tuhan, berikan yang terbaik atas hasil malam lamaran ini”, pintaku
pada-Nya. Lamanya waktu telah berjalan hingga 21.30 WIB. Datanglah ketukan
pintu keluarga besarku. Tapi ku hanya terdiam dalam bisu keberanian yang tak
bisa ku tanyakan kepada mereka. Suara semakin ramai, ku hanya bisa melebarkan
gendang telinga melalui desiran kabar dengam biasan kata-kata mereka yang
ternyata diterimanya lamaran dan waktu pernikahanpun telah ditentukan.
Alhamdulillah senantiasa kuucapkan seraya bersyukur melalui tetesan bahagia yang berjatuhan
dalam hatiku terdiam. Walau semua restu ini mereka berikan karena keterpaksaan
dua insan yang tak dapat dipisahakan.
Hari berganti minggu, minggu berganti
bulan, berjalan penuh kebahagiaan bercampur kesedihan tentang restu yang penuh
keterpaksaan menanti datangnya hari yang dinanti. Malam ijab qobulpun
terlaksana dengan kata “Saya terima nikah dan kawinnya Alinda Ockty Prirahayu
binti Supriyanto dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai”, dan “sahhh”, gema
suara saksi dengan lantunan kalimat Illahi robbi. Cincin dan gelang kau
sematkan pada tanganku serta seperangkat alat sholat sebagai pengikat janji
suci sehidup semati di mata Alloh dengan para malaikat-Nya.
Jum’at, 9 Maret 2018 (9-3-2018) telah tiba.
Mahligai pernikahan kami jalani dengan bahagia tetapi penuh rasa haru, tangis,
dan sedih karena nafas kami belum terhempas lega oleh keterpaksaan tersebut.
Allohlah yang menjadikan kekuatan sebagai tongkat penunjuk jalan dalam menuju
masa depan kebahagiaaan kita berdua. Sang pangeranku datang dengan mobil
pengantin penuh hiasan nan indah. Resepsi pernikahanpun berjalan lancar. Para
dosen, teman kampus, serta undangan memberikan restu untuk kita. Perjalanan waktu penuh gelombang. Tetapi
tiada hentinya suamiku memberi kejutan pada setiap moment. Kita saling berbagi sedih,
tangis, canda, dan tawa. Kamu adalah aku. Aku adalah kamu.
TUHAN,
Jadikan kesedihan kita selama ini menjadi
dawai samudera yang indah nan bahagia.
Bergemuruh dalam perjalanan Tasbih-Mu sampai akhir dunia alam akhirat.
Kekal
dengan anak-anak kita selamanya dalam surga.
Alloh, terimakasih untuk-Mu dari kita
berdua.
Komentar
Posting Komentar