RUANG ICU MENJADI SAKSI BISU CINTA KASIH




KPSB.blogger.com -  Pacitan, 26/11/2018 
Penulis Tensy

Kuhentakkan semakin keras kaki ini ketika melewati genangan air yang menghalangi langkahku. Berlari secepatnya menuju tempat yang tak kuketahui. Seakan-akan tubuhku dikendalikan oleh sepasang kaki ini. Berlari dengan air mata yang terus mengalir ditengah hujan yang tak berhenti, seperti mengetahui perasaanku saat ini, menggantikan air mata yang kukeluarkan dengan air hujan. Dua jam yang lalu dia masih baik – baik saja saat kami berbicara melalui telepon. Namun dua menit yang lalu aku mendapatkan kabar bahwa dia berada di tempat yang tak seharusnya dia berada. ICU.
Dua tahun lalu kami bertemu, bertemu secara tidak wajar. Melalui sosial media kami kenal. Waktu semakin berlalu, rasanya kami ini sudah ditakdirkan untuk bersama. Yang lucu adalah kami belum bertemu secara langsung. Hanya tahu wajah satu sama lain melalui layar ponsel.  
Hingga suatu ketika dia mengajakku bertemu, bertemu untuk pertama kalinya. Setelah aku duduk di bangku taman dalam waktu yang lama aku melihat seorang laki-laki berperawakan tinggi mondar – mandir dengan raut muka gelisah dan terus menerus memandangi ponselnya. 

Tak lama berselang ponselku bergetar. Telepon darinya kuangkat dan kujawab salam darinya sambil terus memandangi sekitar mencari keberadaannya. Seperti kilat, tiba-tiba dia sudah disampingku sambil menenteng dua gelas coffe. Tak kupercaya bahwa dia merupakan teman satu kelasku sendiri di kala putih abu-abu, yang memang dulu aku memiliki perasaan kepadanya namun tak pernah tersampaikan.
Dua jam berlalu kami berkenalan kembali dan bercerita mengenai kehidupan yang terjadi setelah kami lulus sekolah. Dia sudah mengetahui bahwa aku merupakan teman dia dahulu, hanya saja aku yang tak peka bahwa dia juga temanku sendiri. ‘waktu itu sebenarnya aku tahu bahwa kamu memiliki perasaan padaku, hanya saja aku belum berminat untuk berteman dengan gadis dan perasaan itu tiba-tiba berbalik kepadaku hingga saat ini’ katanya. 

Di akhir pertemuan aneh kami, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah kotak mungil, kecil. Dia membukanya dan menunjukkan kepadaku. Sebuah cincin indah yang diselimuti oleh warna perak dan dipercantik dengan berlian kecil berada didalam kotak mungil itu.
Bagai tersambar petir, hatiku berdetak semakin kencang ketika dia berkata untuk menjaga hatiku untuknya. Namun karena ini merupakan pertemuan kami yang pertama, awalnya aku menolak. Tapi setelah dia jelaskan bahwa satu minggu lagi dia akan pergi ke tanah Papua untuk tugas negara, hatiku mulai bimbang. 

Hingga dia cerita bahwa setelah lulus sekolah dia mencantumkan dirinya untuk menjadi salah satu abdi negara yang bertugas menjaga tanah air ini. Dan minggu depan dia akan berangkat untuk menjalankan tugas tersebut. Tiga menit aku berpikir, dan kujanjikan," akan kujawab pertanyaanmu dihari keberangkatanmu’.
Aku menyesal dengan jawaban yang kuberikan saat itu. Andaikan saja jawaban yang kuberikan saat itu merupakan sebaliknya. "Mungkin saat ini dia akan baik-baik saja," pikirku. Setelah kedua kakiku merasakan lelah aku duduk di sebuah halte.  Aku merenung.
Setelah kupikirkan secara mendalam, aku memintanya untuk bertemu sebelum dia pergi. Pukul 10 pagi aku menjanjikannya untuk bertemu di tempat pertama kali kami bertemu. Ketika aku datang, dia sudah duduk menunggu di sana, sambil memangku tas ransel. Dia menyapaku dan berkata apakah hari ini suasana hatinya sedang baik. Lalu kujawab bahwa suasana hatiku hari ini sangat baik. Kami mulai bercerita kembali mengenai keluarga dan karir kami.
Hingga dua jam setelahnya dia pamit dan mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas ranselnya dan memberikannya padaku. ‘Kenapa dia memberikan kotak yang lebih besar? Bukan kotak mungil sebelumnya?’ batinku.
Kubuka kotak tersebut, didalamnya sepasang flatshoes cantik berwarna pink. Aku pun menatap dia dengan penuh tanya. ‘Karena ini merupakan tugas negara dan mungkin, aku akan kembali padamu hanya dengan nama,’ kata-katanya membuatku hancur. ‘Baru satu minggu kami bertemu untuk menjalin suatu hubungan yang lebih serius dan dia ingin pergi dan kembali hanya dengan sebuah nama?’   
Tanpa memperdulikan ekspresiku yang menggambarkan pertanyaan, tiba-tiba dia mengambil gambar wajahku tanpa izin dariku. ‘Akan kulihat ketika aku rindu,’ katanya. Aku pun menitip pesan agar menjaga dirinya sendiri, menjaga kesehatan dan jangan melupakan lima waktumu. 

Dia pun pamit untuk benar-benar pergi. Dan dengan bodohnya aku lupa untuk mengucapkan terima kasih atas pemberian sepasang sepatu tadi. Kukirimkan pesan kepadanya bahwa aku sangat berterima kasih dengan pemberiannya. Lalu kusambung dengan ‘bagaimana dengan pertanyaanmu minggu lalu? Bukankah kau menantikan jawabanku?’ ‘Bukankah suasana hatimu baik hari ini ?" Itu sudah cukup iya untukku,’ balasnya singkat.  
Tiga bulan berlalu hubungan jarak jauh kami baik-baik saja. Setiap satu minggu sekali dia mengirim pesan kepadaku bahwa dia disana dalam keadaan baik. Sebenarnya aku ingin melakukan panggilan video dengannya namun karena alasan sinyal yang ada di sana keinginan tersebut pupus. Di saat aku merindukkannya aku membuka kotak sepatu yang dia berikan, hingga tiga bulan berjalan hubungan kami aku belum pernah memakainya. 

Tiba-tiba hari ini aku ingin memakainya, saat kupakai ukuran sepatu ini memang cocok denganku namun ada yang tidak nyaman. Kucari bagian mana yang membuatku tak nyaman. Kuteliti setiap bagian sepatu itu. 

Akhirnya aku menemukan cincin yang ingin ia berikan padaku saat pertemuan pertama yang berlalu tersolasi rapi dibagian dalam sepatu. Seketika aku ingin menangis, "lalu kuambil ponselku dan kukirimkan pesan padanya, terima kasih,’ tulisku.
Hingga guncangan terjadi padaku. Tiba-tiba ayah mengajakku makan malam dengan rekannya. Akupun setuju karena ini kuanggap dengan makan malam biasa sebagai sesama rekan kerja ayah. Namun setelah makan malam itu, rekan ayah ingin minggu depan untuk mengadakan makan malam kembali agar kedua keluarga kita semakin akrab, katanya. Sejak saat itu perasaanku mulai ganjil.
Ketika aku sedang berdua dengan ibu di rumah aku bertanya mengapa harus diadakan makan malam lagi dengan rekan ayah. Namun ibu menjawabnya, ‘karena itu rekan kerja ayah biasa kan, tapi malam itu kamu harus ada di rumah ’. Jawaban ibu memang benar tetapi tetap ada saja yang ganjil. ‘aku harus dirumah? 
Untuk apa? 
Apa pentingnya aku?’ pikirku.
Ketika aku sedang menyiapkan makanan untuk acara makan malam malam ini, ponselku bergetar. Telepon masuk. Kuangkat. Ternyata dia. Dia mengatakan bahwa hari ini ia baik-baik saja namun telah terjadi penyanderaan satu kampung oleh pihak asing dan dia ditugaskan untuk bergabung dalam tim yang akan menyelamatkan warga kampung tersebut. 

Dia pun meminta doa restu agar semua dia, tim dan yang terutama warga dapat kembali dengan keadaan selamat. Aku pun mulai cemas dengan keadaannya. Membayangkan hal yang tidak  terjadi padanya. Aku pun berdoa agar dia dilindungi oleh-Nya.
Hingga ibu datang dan mengagetkanku. Beliau mengatakan padaku untuk mengikutinya, memberi salam kepada keluarga rekan ayah yang datang, namun karena hujan rintik makan malam agak meleset dari jadwal. Satu persatu aku menyalami setiap keluarga rekan kerja ayah yang datang, ada rekan kerja ayah, ada istrinya, dan anak perempuannya yang masih SD. ‘hanya tiga orang saja?kenapa ibu dan ayah mempersiapkan segala sesuatu seperti penganugrahan miss world saja?kupikir yang datang satu kantor, namun hanya tiga orang? apa maksud semua ini?’ pikirku.
Keluargaku dan keluarga rekan kerja ayah itu duduk bersama didepan satu meja makan besar. Dan mereka mulai berbincang mengenai pekerjaan para ayah. Satu jam berlalu, tiba-tiba seorang laki datang dengan pakaian yang setengah basah.
"Ayah memperkenalkan laki itu pada keluargaku, “dia adalah asisten baru ayah, dan dia akan menjadi anak laki-laki  ayah dalam waktu dekat.” Kata ayah hingga mengejutkanku. Kulihat ibu yang disampingku biasa – biasa saja seperti mengetahui bahwa hal ini akan terjadi. Aku merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ayah katakan. ‘Dia akan saya jodohkan dengan putrimu, bu’ kata rekan kerja ayah itu pada ibuku.
Seperti petir yang menyambar pohon, hatiku rapuh Aku memang belum mengatakan pada ibu bahwa aku sudah memiliki seseorang, tetapi aku sudah merencanakan akan memberitahunya ketika dia sudah kembali dari tugasnya. Namun, apa yang terjadi saat ini? Semua rencana yang sudah aku susun dengan rapi, hancur seketika dalam sekejap.
Dengan rasa marah aku berdiri, hingga kursi yang kududuki jatuh ke belakang, karena kasarnya aku berdiri. Aku pun menyahut ponselku yang ada didepanku dan mengambil gelas lalu membantingnya. Aku marah. Aku pergi dari makan malam itu, ketika ku menengok kebelakang rasa terkejut tampak jelas dimuka mereka. Aku melarikan diri dari kenyataan yang dibuat oleh keluargaku sendiri.
Tiba-tiba teleponku berdering, nomor baru, langsung saja kuangkat, betapa terkejutnya aku ketika yang menelponku ini dari salah satu anggota militer yang ada di Papua. Bukannya senang mendapat telepon dari tanah Papua, namun kali ini yang datang kabar buruk, bahwa pujaan hatiku sedang berada di ICU karena tertembak di bagian dadanya, ingin aku menangis sekerasnya. ‘Bagai jatuh tertimpa tangga pula’, mungkin peribahasa itu cocok untukku malam ini. Seketika terpikir olehku untuk lari sekencangnya melewati hujan rintik yang semakin lama semakin deras, lari sejauhnya sambil menangis sekencangnya meluapkan semua rasa tidak adil yang terjadi dalam hidupku malam ini.
Tiga puluh menit berlalu, aku berlari di derasnya hujan. Kedua kakiku merasakan lelah dan membuatku untuk duduk di halte. Aku mulai merenung mengapa ini harus terjadi kepadaku? Andaikan saja jawaban yang kuberikan tiga bulan lalu, sebaliknya. Mungkin rasa sakit ini tak akan terjadi padaku. Rasa khawatir yang menyeruak dalam hati ini, berprasangka akankah dia baik saja setelah sebuah peluru hinggap di dadanya? Ataukan dia memang akan pulang dengan nama? Pikiran itu mulai menghantui diriku.
Kulihat ponselku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dengan baju basah kuyub dan rasa dingin yang terus menyiksa diriku ditambah pikiran tentangnya yang menghantuiku. Aku menguatkan diriku untuk pulang ke rumah. Mungkin ayah tahu bahwa aku menolak perjodohan ini. Namun pusing yang menyambar kepalaku semakin lama semakin kuat. Kucoba untuk menyebrangi jalan raya. Dengan sempoyongan aku berjalan hingga aku mendengar bunyi klakson dari jauh. Ku lihat sekelilingku tidak ada mobil yang melintas. Namun bunyi klakson itu semakin lama semakin dekat. Hingga aku menengok ke arah kanan ada lampu putih menyilaukan mataku. 

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KUPU-KUPU KESEPIAN

KEMARAU MERANGGAS

ARTI SEBUAH PERSAHABATAN